Snow

Jumat, 11 Maret 2016

KAJIAN: Syarat Sah Syahadat-Al Inqiyad (pendalaman)



Assalamualaikum wr wb.

Bagaimana kabar ibu-ibu semua? Semoga dalam kondisi terbaik hari ini. Saya mohon maaf sudah dua pekan atau bahkan lebih tidak bisa hadir untuk meneruskan diskusi kita. Ada hal-hal yang tidak bisa ditinggalkan dan menyita banyak waktu dalam dua pekan ini hingga sulit untuk mengkondisikan diri untuk hadir di group kajian ini. Namun saya berharap, selama saya tidak hadir kemarin proses untuk belajar dan menambah pengetahuan tetap terus berjalan. Ilmu bisa kita dapatkan dari mana saja. Pagi ini saya tidak bisa mengawali dari subuh tadi karna kebetulan selepas sholat subuh masih ada agenda untuk menemui Kyai Didin Hafidhuddin, ulama terkemuka di bogor, dan alhamdulillah sekarang sudah selesai dan in syaa Allah dalam beberapa lama waktu ke depan saya ingin meneruskan kajian kita. Kalau tidak keliru, kita masih dalam diskusi syarat syahadat, dan sudah kita bahas bersama Al Fahmu, Al Yaqinu, Al Qobulu, dan in syaa Allah pagi ini akan kita teruskan dengan syarat selanjutnya yaitu Al Inqiyad. الانقياد

Secara bahasa Al Inqiyad berarti tunduk dan patuh. Artinya adalah seorang yang telah berikrar syahadat haruslan patuh dan tunduk dengan segala konskuensi yang ada di dalam syahadat tersebut. Patuh dan tunduk atas konsekuensi ikrar menuhankan hanya Allah semata. Dimana kita harus patuh kepada Allah dengan berusaha menjalankan segala apa yang dicintai oleh Allah dan menjauhi segala hal yang dilarang oleh Allah, ddan juga patuh serta tunduk atas segala ketentuan yang lahir dari ikrar keimanan kita terhadap keRasulan Nabi Muhammad SAW dengan mentaatinya, mencintainya dan tidak membangkang atas segala perintahnya.

Sekilas Al Inqiyad ini mirip dengan Al Qobulu. Dari sisi ketaatan, menerima segala ketentuan keimanan kepada Allah dan RasulNya memang ada kemiripan namun sisi bedanya dari keduanya adalah, Al Qobulu bersifat hati dimana kita menerima segala hal yang telah ditentukan oleh Allah dan RasulNya tanpa penolakan dan keterpaksaan dalam hati. Dan Al Inqiyad adalah kepatuhan dan ketundukan dari sisi aplikasi dalam perbuatan nyata.

Allah telah menentukan kewajiban jihad bagi seorang muslim yang berada dalam masa dan wilayah jihad, mungkin saja ini akan sangat berat baginya dimana dia harus meninggalkan keluarganya, istri dan anak-anaknya, meninggalkan pekerjaannya, mengerahkan semua hartanya, dan bahkan mempersiapkan dari sisi mental kemungkinan jiwanya akan terenggut dalam kancah jihad tersebut. Perasaan legowo menerima segala ketentuan itu, ringan melangkah untuk menyambut seruan jihad tersebut, walaupun dia harus meninggalkan segala yang ia cintai, ikhlas menerima segala kemungkinan yang akan terjadi, dan tidak merasa terbebani oleh ketentuan jihad ini, ini yang disebut dengan Al Qobulu dalam syarat syahadat. Sedangkan Al Inqiyad adalah saat ia wujudkan segala kepatuhannya dan ketaatannya atas perintah Allah ini dengan berkemas, membelanjakan hartanya untuk persiapan jihad, meninggalkan rumah dan berpamitan kepada keluarganya, masuk ke medan perang, dan mengerahkan segala kekuatan fisik, mental dan fikirannya untuk memperjuangkan agama Allah. Inilah perbedaan antara syarat Al Qobulu dan Al Inqiyad.

Hal ini bisa kita lihat dalam kisah-kisah para sahabat yang mulya. Begitu Rasulullah menyampaikan perintah berhijrah, semua umat Islam yang ketika itu baru berjumlah kurang lebih sekitar 80-an orang, mereka mempersiapkan diri untuk berhijrah, walaupun mereka sadar dengan berhijrah mereka akan kehilangan sebagian keluarganya yang selama ini bersama, namun belum Islam. Mereka sadar saat mereka berhijrah maka mereka akan kehilangan pekerjaan yang selama ini sudah mereka nikmati hasilnya, mereka tahu bahwa ketika mereka berhijrah mereka akan hidup sebatangkara, di tanah orang yang jauh dari tanah kelahiran mereka. Dan mereka sadar betul saat mereka hijrah mereka akan jatuh miskin karena tidak mungkin mereka membawa harta yang mereka miliki di Makkah, jikapun mereka membawa sebanyak yang mereka bawa ternyata sebagain sahabat yang hijrah ketika itu dicegat ditengah jalan dan semua bekalnya dirampas oleh kafir Quraisy. Dan yang paling berat, mereka juga sadar bahwa dengan berhijrah jiwa mereka terancam oleh orang-orang kafir yang mengejar mereka, jikapun mereka lolos dari kejaran orang-orang kafir, perjalanan dari Makkah ke Madinah adalah perjalanan yang sangat keras dan sulit, harus melalui gurun pasir yang jika meraka tidak hati-hati mereka bisa mati oleh keganasan gurun.

Kepatuhan mereka atas perintah Allah dan RasulNya yang mereka terima dalam hati, mereka wujudkan dalam perbuatan, mereka buktikan dengan hijrah mereka. Bahkan di riwiyatkan setelah kaum muslimin berhijrah, lalu Rasulullah menyusul dan yang terakhir adalah sahabat Ali. Ketika itu Ali masih sangat belia, selepas ia menggantikan posisi tidur Rasulullah, dan Rasulullah hijrah bersama Abu Bakar, Ali menyusul. Quraisy yang merasa telah kehilangan Rasulullah SAW sangat marah dan mereka mengerahkan semua kekuatan untuk menghalangi siapa saja ummat Islam yang berhijrah. Dan Ali lah yang terakhir berhijrah ketika itu, sahabat Ali berhijrah hanya sendiri, dan beliau tahu betapa bahayanya orang-orang kafir yang sedang dalam kemarahan tersebut. Hingga beliau berjalan menuju Madinah dengan zigzag, memotong jalur yang biasa dilalui masyarakat yang akan menuju Madinah. Untuk apa? Demi menghindari orang-orang kafir yang sedang memburu kaum muslimin, dan beliau hanya berjalan di waktu malam saja, saat siang dan terang beliau mengubur sebagian tubuhnya di pasir yang panas, atau bersembunyi di bebatuan yang cadas agar tidak terdeteksi oleh musuh-musuh Islam. Itulah Al Inqiyad. Mereka membuktikan segala kepatuhan hati mereka terhadap perintah Allah dalam aplikasi perbuatan yang nyata. Namun jika kita meraba pribadi kita, rasanya malu sekali karna ternyata sering kita hanya menerima saja ( Al Qobulu), namun kita sering merasa berat untuk membuktikannya dalam perbuatan nyata.

Banyak dari kita yang berani berteriak tentang jihad, jika bicara tentang jihad dia begitu bersemangat, namun saat panggilan jihad itu ada, ia mundur teratur dengan berbagai alasan. Atau muslimah-muslimah kita, mereka mengatakan, kami menerima kewajiban untuk menutup aurat, berhijab, namun kami belum siap untuk melakukannya, kami masih harus bekerja meniti karir, kami masih terlalu muda untuk menutup aurat, biarlah kami menikmati kehidupan kami terlebih dahulu, nanti saat kami sudah cukup, dan kami sudah berkeluarga, anak-anak kami sudah bisa mandiri, kami akan berhijab. Ini adalah contoh dimana hati mereka menerima ( Al Qobulu) atas segala ketentuan Allah, namun mereka tidak siap untuk patuh dalam mewujudkan rasa taatnya ( Al Inqiyad).

Al Inqiyad, ini mempunyai dua cakupan. Yang pertama : patuh dan taat dalam perbuatan perbuatan ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Sebagaimana contoh di atas. Dan yang kedua adalah patuh dan taat dalam perbuatan yang berbentuk menghindar dan menjauhi segala larangan larangan Allah dan RasulNya.

Allah melarang kita untuk mendekati zina, maka bentuk Al Inqiyad kita adalah dengan berusaha semaksimal mungkin menjauhi dan menghindari segala hal yang akan membawa kita kepada perzinahan. Allah melarang riba, Allah melarang perbuatan fitnah, Allah melarang perbuatan dendam, omong kosong, saksi palsu, menjatuhkan martabat dan kehormatan sesama muslim, membangkang kepada suami, orang tua, mertua, Allah melarang dusta, prilaku kotor LGBT, dan yang lainnya. Bentuk ketaatan dan kepatuhan kita atas larangan ini adalah dengan menjauhinya. Dan segala larangan wajib untuk dijauhi. Berbeda dengan perintah, dalam melaksanakan perintah adalah sesuai dengan kemampuan. Allah memerintahkan sholat dengan berdiri, maka tidak dosa bagi seorang yang punya udzur untuk sholat dengan duduk, tiduran, terlentang atau bahkan hanya dengan isyarat saja, karna ada keterbatasan disana. Namun untuk menjauhi segala laranganNya, tidak ada dengan ketentuan sebatas kemampuan, makanya tidak diperbolehkan seorang yang merasa mampu untuk meninggalkan zina namun kemudian merasa diperbolehkan dengan melakukan hal selain zina, walaupun itu juga maksiat, mungkin dalam bentuk pacaran yang sudah sampai berpegangan, bersentuhan dengan syahwat atau bahkan lebih jauh dari itu. Walaupun itu belum sampai definisi zina dalam pandangan fiqih namun hal itu tetap dosa.

Perintah sholat berdiri, diperbolehkan untuk duduk jika tidak mampu berdiri. Berpegangan, bersentuhan dengan syahwat, berciuman tidak akan pernah diperbolehkan, dan akan tetap menjadi dosa walaupun dengan dalih telah bisa menahan diri dari zina. 

Semoga Allah menjaga kita semua, anak-anak kita, keturunan-keturunan kita semua dari segala hal yang dilarang Allah dan RasulNya, dan menganugerahi kita semua, anak-anak kita, keturunan keturunan kita semua dengan ketaatan dan kepatuhan atas segala perintah perintah Allah dan RasulNya. Amin ya Robbal Alamin.

Wallahu A'lam. Mungkin sampai disini kajian pagi ini, semoga bermanfaat. Jika ada pertanyaan yang perlu didiskusikan silahkan disampaikan. Semoga Allah memberikan kelonggaran waktu untuk menjawab dan dituntun dalam ilmuNya yang tidak terbatas.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

*Ustadz Fata Fauzi, Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar