TANYA:
Assalamu’alaikum wr wb. Menyentuh lawan jenis ( laki laki menyentuh wanita, ataupun wanita menyentuh laki laki) apakah membatalkan wudlu atau tidak? Terima kasih.
JAWAB:
Waalaikumsalam wr wb. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, setidaknya perbedaan pendapat dalam hal ini dapat digolongkan dalam tiga pendapat :
1. Tidak membatalkan wudlu secara mutlak.
Pendapat ini disampaikan oleh madzhab Imam Abu Hanifah, menurut madzhab Hanafi dalil Al Quran sebagaimana disebutkan dalam QS Al Maidah ayat 6 yang menyebutkan bahwa menyentuh wanita adalah bagian dari hadats tidak bisa dimaknai dengan leteral, tidak bisa dimaknai secara denotasi karena akan berbenturan dengan bebeberapa hadits yang diriwayatkan oleh ibunda Aisyah bahwa Rasulullah mencium beliau sebelum berangkat ke masjid, kemudian mengimami sholat tanpa berwudhu lagi.
Sebagaimana bisa kita fahami bersama bahwa “mencium” tentunya akan mengakibatkan sentuhan kulit. Jika bersentuhan membatalkan wudhu maka pastinya Rasulullah akan berwudhu sebelum mengimami sholat di masjid.
Dalam hadits yang lain, Ibunda Aisyah juga menceritakan bahwa suatu malam Rasulullah sedang sholat malam dan kaki ibunda Aisyah ternyata terjulur ke tempat sujud Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah menggeser kaki beliau untuk selanjutnya bersujud. Jika bersentuhan membatalkan wudhu maka haruslah batal sholat Rasulullah SAW ketika itu.
Ada beberapa dalil lain yang semakna dari ayat dan hadits di atas yang dipergunakan oleh madzhab Hanafi dalam menguatkan pendapat mereka bahwa bersentuhan antara seorang pria dan wanita tidak membatalkan wudhu.
Lalu bagaimana dengan QS Al Maidah ayat 6 yang menyebutkan bahwa menyentuh wanita adalah hadats, madzhab Hanafi berdalil bahwa arti “menyentuh” dalam ayat tersebut bermakna konotasi, kata “ menyentuh” tersebut bermakna majaz dari arti sebenarnya yaitu jima’ ( bersetubuh), dengan demikian arti kata “ menyentuh” dalam ayat tersebut adalah hadats besar yang cara penyuciannya dengan mendi besar.
2. Membatalkan wudlu jika dengan dibarengi syahwat, dan tidak membatalkan wudlu jika tidak dibarengi dengan syahwat.
Madzhab Imam Ahmad Al Hambali dan Imam Malik, berpendapat bahwa bersentuhan antara seorang laki-laki dan wanita akan membatalkan wudhu jika berbarengan dengan berdesirnya syahwat dan tidak membatalkan wudhu jika aman dari desiran syahwat. Kedua madzhab ini berusaha mengabungkan antara dalil ayat Al Quran dan hadits, yaitu menggabungkan antara makna “menyentuh” dengan arti denotasi, yaitu menyentuh sebagaimana kita fahami, dan bukan jima’. Namun dengan diperjelas dengan hadits sebagaimana diriwayatkan oleh Ibunda Aisyah RA, maka apa yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah sentuhan yang tidak dibarengi dengan syahwat. Adapun bersentuhan yang dikatakan membatalkan wudhu sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas adalah bersentuhan yang dibarengi dengan syahwat.
3. Membatalkan secara mutlak.
Pendapat bahwa bersentuhan antara seorang laki-laki dan wanita membatalkan wudlu secara mutlak, baik bersentuhan tersebut berbarengan dengan syahwat ataupun tidak, adalah pendapat madzhab Syafi’i. Pendapat ini berlandaskan pada dalil ayat Al Quran QS Al Maidah ayat 6, sama dengan dalil yang dipergunakan oleh Imam Hanafi, dan juga Imam Hambali serta Imam Malik. Dalam ayat ini Allah menyebutkan junub, kemudian menyebutkan buang air ( baik BAB atau BAK), lalu Allah menyebutkan menyentuh wanita. Dari poin ini ulama’-ulama’ madzhab Syafi’I menyandarkan kalimat “menyentuh wanita” kepada kalimat “buang air” yang merupakan hadats kecil, hingga hukumnya disamakan, yaitu dalam kategori hadats kecil. Selain itu juga kata kata لامس yang disebutkan dalam ayat tersebut secara makna dasar berarti “menyentuh”. Dalam teori pemahaman yang digunakan oleh madzhab Syafi’I selama sebuah kata bisa diartikan dengan makna denotasi maka tidak perlu diartikan dengan makna konotasi yaitu harus diartikan apa adanya.
Lalu bagaimana dengan hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah mencium ibunda Aisyah sebelum sholat, Imam Annawawi ( salah satu pengikut Imam As Syafi’i) menyampaikan bahwa hadits tersebut dho’if ( lemah ) maka tidak diperbolehkan hadits dhoif dijadikan sebagai landasan dalam menentukan hukum apalagi harus dibenturkan dengan ayat Al Quran.
Ibnu Hajar Al Isqolani dalam syarh shoheh bukhori, beliau menyebutkan bahwa jikapun hadits ini shoheh maka itu termasuk kekhususan Rasulullah SAW yang tentunya tidak sama dengan apa yang ditetapkan untuk ummatnya, sebagaimana kekhususan Rasulullah yang lain seperti puasa wishol, taadud ( Berpoligami) lebih dari 4 istri, dan sebagainya.
Adapun terkait hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah menggeser kaki ibunda Aisyah saat sholat malam, ulama’-ulama’ Syafi’I melihat bahwa sangat memungkin sekali kaki ibunda Aisyah saat digeser oleh Rasulullah terhalang dengan baju yang dikenakan oleh ibunda Aisyah, sehingga tidak terjadi sentuhan langsung antara kulit Rasulullah dan kulit ibunda Aisyah RA.
Demikianlah perbedaan pendapat dalam hal ini, jika kita ingin memilih hal yang paling hati-hati maka madzhab Syafi’I adalah madzhab yang paling berhati-hati dalam hal ini, walaupun pendapat madzhab lain merupakan pendapat yang tidak salah, dan dipersilahkan bagi seorang muslim untuk menjadikan masing masing argumentasi dari masing-masing madzhab sebagai pertimbangan dengan selanjutnya menentukan pilihan dalam hal ini.
Wallahu a’lam.
*Ustadz Fata Fauzi,Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar