6 Januari 2016
Assalamualaikum wr wb.
Ibu-ibu yang berbahagia, masih meneruskan diskusi pekan lalu tentang bid’ah. Sekali lagi saya sampaikan bahwa pembahasan ini adalah pembahasan yang sangat sensitive, banyak dari kita yang gagal bersikap dengan akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabat serta salafus sholeh dalam menyikapi perbedaan. Untuk itu saya ingatkan kembali, mari kita kesampingkan ego nafsu pribadi dan mengedepankan ukhuwah Islamiyah, perbedaan adalah hal yang niscaya, bukan hanya di zaman kita yang sudah jauh dari masa hidup Rasulullah, namun saat rasulullah masih hidup pun, ternyata para sahabat nabi pun berbeda dalam berbagai masalah, namun kecintaan mereka sesama muslim menjadikan akhlak mereka sangat indah untuk ditiru dalam masalah ikhtilaf.
Sahabat nabi, Mutharrif bin Abdullah sempat mempertanyakan sholat yang dilakukan oleh Abu Dzar, para sabahat anshor sempat mengadukan imam masjid quba kepada Rasulullah lantaran ia selalu menyertakan surat al ikhlas dalam setiap rekaatnya selepas membaca fatihah, sahabat Ibnu Abbas mengingkari sahabat Mu’wiyah bin Abu Sofyan yang mencium rukun Iraqi dan rukun syami ketika thoaf, Abu Said al Khudri menginkari apa yang dilakukan oleh Marwan bin Hakam dalam mendahulukan khutbah saat sholat iedul adha dan mengakhirkan sholat ied, dan sebaginya. Namun marilah kita lihat bagaimana akhlak mereka dalam menyikapi perbedaan ini, mereka saling menghormati, saling mencintai, saling menjaga persatuan dan mereka tidak saling mencaci maki. Dan dengan contoh akhlak merekalah islam menjadi indah dan mempesona. Itulah contoh akhlak para salafus sholeh dalam menyikapi perbedaan. Berbeda, selama masih dalam naungan keumumaman dalil, maka hal itu tidak masalah. Yang bermasalah adalah jika kita terpecah-belah dalam menyikap perbedaan ini.
Kembali pada pertanyaan bid’ah yang pernah disampaikan. Untuk definisi bid’ah sudah saya sampaikan dalam kajian pekan lalu dengan menyebutkan definisi masing masing kelompok pemikiran, dan saya tidak mengharuskan jamaah yang ada dalam group ini untuk memilih pilihan tertentu lalu mencela kelompok yang lain. Saya menyebutkan keduanya agar kita bisa bijak bersikap karena tahu dalil mereka masing masing.
Mengenai pembagian bid’ah, menurut ulama-ulama yang mendefinisikan bid’ah secara ketat maka mereka menilai semua bid’ah adalah sesat, dan tentunya ini berarti bahwa bid’ah tidak terbagi bagi, melainkan bid’ah hanya satu, yaitu sesat. Dalam istilah hadits yang pernah disampaikan dalam pekan lalu adalah bid’ah dholalah.
Bid’ah dholalah adalah gabungan dua kalimat bahasa arab yang artinya, bid’ah = bid’ah, dholalah = sesat, jadi bid’ah dholalah adalah bid’ah yang sesat. Namun menurut kelompok yang mendefinisikan bid’ah dengan moderat bid’ah ada dua, yaitu bid’ah dholalah dan bid’ah hasanah.. secara bahasa bid’ah hasanah dari dua kata bahasa arab yang berarti bid’ah = bid’ah, hasanah = baik, jadi bid’ah hasanah adalah bid’ah yang baik, artinya adalah hal yang dulu memang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan sekarang ada, namun masih ada dalil umum yang bisa menjadi pijakan, karna itulah disebut bid’ah hasanah, sesuatu yang baru namun baik dan boleh dilakukan.
Dalil dalam pembagian bid’ah ini banyak, namun karena keterbatasan waktu saya tidak akan menyebutkan semuanya, mungkin satu atau dua saja, diantaranya sebagai berikut:
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
رواه مسلم
artinya : “Jarir bin Abdullah
al-Bajali radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan
memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya
tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai
perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa
orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa
mereka.” (HR. Muslim [1017])
Dalam hadits diatas disebutkan bahwa barang siapa yang memulai satu perbuatan (سن ) yang baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala sebanding pahala orang orang yang mengikutinya setelahnya tanpa sedikitpun berkurang. Dan sebaliknya barang siapa yang memulai satu perbuatan buruk maka ia akan mendapatkan dosa, dan juga dosa orang-orang yang mengikutinya.
Begitu juga diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdil Qaary ia berkata; aku keluar bersama Umar bin Khatthab di bulan Ramadhan menuju masjid (Nabawi). Sesampainya di sana, ternyata orang-orang sedang shalat secara terpencar; ada orang yang shalat sendirian dan ada pula yang menjadi imam bagi sejumlah orang. Maka Umar berkata: “Menurutku kalau mereka kukumpulkan pada satu imam akan lebih baik…” Maka ia pun mengumpulkan mereka –dalam satu jama’ah– dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya di malam yang lain, dan ketika itu orang-orang sedang shalat bersama imam mereka, maka Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini, akan tetapi saat dimana mereka tidur lebih baik dari pada saat dimana mereka shalat”, maksudnya akhir malam lebih baik untuk shalat karena saat itu mereka shalatnya di awal malam. (H.R. Malik dalam Al Muwaththa’ bab: Ma jaa-a fi qiyami Ramadhan).
Dari dua hadits di atas dan banyak dalil lainnya maka imam syafi’I berpendapat dalam bid’ah bawah bid’ah terbagi menjadi dua, ada bid’ah yang bisa diambil (maksudnya baik = hasanah) dan ada bid’ah yang tercela ( maksudnya bid’ah yang sesat).
Dan pendapat al imam as syafi’I banyak diikuti oleh ulama-ulama’ setelah beliau hingga saat ini. Dan merekalah yang saya sebut kelompok ulama’ yang mendefinisikan bid’ah dengan moderat. Bahkan dalam hadits yang kedua, Umar bin Khattab dengan jelas mengatakan bahwa menjamaahkan sholat tarawih adalah bid'ah yang baik.
Menyikapi dalil ini, ulama’-ulama’
yang mendefinisikan bid’ah dengan ketat menjawab bahwa kata “sanna / سن” dalam hadits jabir bin Abdullah albajali
maksudnya bukan memulai satu perbuatan, namun menghidupkan perbuatan. Maksudnya adalah jika dimaknai memulai perbuatan itu artinya perbuatan itu
sebelumnya belum pernah ada, sedangkan jika dimaknai bahwa kata “sanna”
tersebut diartikan sebagai “menghidupkan perbuatan” maka pada dasarnya
perbuatan itu sudah ada, namun hilang dan tidak dilaksanakan oleh ummat lalu,
dihidupakan kembali oleh ummat Islam sekarang dan jika itu merupakan perbuatan
baik maka akan berpahala. Hingga dari argumentasi, ulama-ulama yang mendefinisikan bid'ah hanya satu,yaitu bid'ah dholalah maka hadits
ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil bahwa bid'ah terbagi menjadi dua. Karena kata sanna dalam hadits ini tidak mempunyai arti hal baru atau bid'ah.
Pendapat ini dibantah oleh ulama’ moderat bahwa jika dimaknai “menghidupkan perbuatan” maka akan tidak sinkron dengan kalimat sesudahnya dimana kalimat selanjutnya menerangkan bahwa pelakunya akan mendapatkan pahala dari perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikutinya. Jika orang-orang setelahnya disebut sebagai orang yang mengikutinya maka ia sebenarnya pelaku pertama, bukan orang yang menghidupkan kembali perbuatan yang telah ada namun punah.
Dan perdebatan ini hingga sekarang, dari dulu, al Imam Syafi’I hidup di tahun antara tahun 767-820 M, dan itu artinya sudah 1200 tahun lalu perdebatan itu ada, dan sampai disini. Jika kita memaksakan semua orang untuk mengikuti salah satu pendapat yang ada, maka mustahil itu terjadi. Bahkan jika kita kembalikan ke zaman Rasulullah, dan para sahabat ketika itu juga sudah berbeda pendapat dalam hal-hal tertentu maka mustahil kita inginkan tidak ada perbedaan maka pengharapan itu adalah satu pengharapan yang mustahil. Justru Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan bahwa perbedaan yang terjadi diummat adalah rahmad (kasih saying dari Allah). Maksudnya apa? Dengan adanya ikhtilaf (perbedaan) menjadikan Islam luas dan sangat dinamis serta selalu sesuai dengan zaman.
Dan itulah diskusi bid'ah hasanah atau bid'ah yang baik yang pernah disampaikan oleh Al Imam As Syafi'i. Namun disisi lain ada ulama-ulama yang menentang pendapat Al Imam As Syafi'i ini, dan mereka dari kelompok ulam- ulama yang mendefinisikan bid'ah dengan ketat.
Ibu-ibu yang berbahagia, sebagai
rujukan bacaan jika ibu-ibu ingin membaca dan mendalami secara pribadi diskusi
tentang bid'ah ini, setidaknya ada dua buku yang saya rekomendasikan yang kedua
buku ini bisa menyajikan perbedaan pendapat dengan bahasa baik dan nyaman. Fiqhul Ikhtilaf yang
dikarang oleh DR, Yusuf Al Qaradlowi. Cuma saya tidak tahu
edisi terjemah Indonesianya diberi judul apa. Tapi sepertinya sudah
diterjemahkan dalam bahasa Indoensia. Lalu ada satu buku lagi, dengan
judul asli mafhuumul bid'ah wa atsaruhu fi idhirobi al fatwa al mu'ashirah,
karya DR. Abdul Ilah al 'arfaj, dengan edisi Indonesia konsep bid'ah dan
toleransfi fiqih. Untuk buku yang kedua, edisi
arabnya dalam bentuk ebook saya pernah mensharenya lewat facebook
saya. Silahkan dikaji, dan apa yang saya sampaikan dalam kajian bid'ah banyak
merujuk dalam buku buku tersebut.
wallahu a'lam.
Wassalamualaikum wr wb.
Wassalamualaikum wr wb.
*Ustadz Fata Fauzi,Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar