Snow

Rabu, 24 Februari 2016

TJ: Perihal Zakat profesi.



TANYA:

Assalamualaikum wr wb. Ustadz mohon pencerahannya. Zakat profesi 2,5% itu dihitung dari pendapatan kotor atau pendapatan bersih? Jika pendapatan bersih setelah dikurangi apa?

JAWAB:

Waalaikumsalam wr wb. Zakat profesi adalah zakat yang merupakan ijitihad ulama-ulama' kontemporer. Jadi kita tidak perlu kaget kalau mungkin nanti akan menemukan saudara kita, sesama muslim yang mengatakan bahwa zakat profesi itu tidak ada, atau bahkan zakat profesi itu bid'ah. Pokok perbedaan ini pada dalil umum dan dalil khusus. Harta-harta yang pernah disebutkan oleh al quran secara terperinci ataupun oleh hadits hanya ada 5, yaitu zakat perdagangan, zakat pertanian, zakat emas dan perak, zakat peternakan, dan penemuan harta karun ( Rikaz).

Bagaimana dengan profesi? Secara terperinci belum disebutkan oleh Rasulullah. Makanya bagi saudara-saudara kita yang berpandangan harus ada dalil terperinci, maka meerka tidak akan menemukan hadits atau ayat zakat profesi. Lalu mereka mengatakan bahwa zakat profesi itu tidak ada. Kita menghargai mereka dengan pendapat mereka, namun kita, atau saya pribagi setuju dengan penggunaan dalil umum yang ada dalam al quran sebagai berikut :
"Wahai orang-orang yang beriman! Belanjakanlah (pada jalan Allah) sebahagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebahagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu sengaja memilih yang buruk daripadanya (lalu kamu dermakan atau kamu jadikan pemberian zakat), padahal kamu sendiri tidak sekali-kali akan mengambil yang buruk itu (kalau diberikan kepada kamu), kecuali dengan memejamkan mata padanya. Dan ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha Kaya, lagi sentiasa Terpuji.” (Qs Al-Baqarah  267)

Di awal ayat ini jelas disebutkan " belanjakanlah sebagian dari hasil usaha kamu.. " Ayat ini mencakup semua usaha yang dilakukan oleh seorang muslim, termasuk bekerja di sebuah intansi, perusahaan atau semacamnya dan dia menghasilkan uang dari aktifitasnya tersebut. Maka dia tetap wajib zakat berdasarkan ayat ini. Dan juga bisa menjadi landasan dalil kewajiban zakat profesi, adalah keadilan Islam.

Kita tahu, bahwa sebagian orang yang bekerja di sebuah perusahaan atau dengan profesi tertentu seperti dokter, advocad, dan semacamnya, mereka bisa berpenghasilan sangat besar yang tentunya bisa lebih besar dari seorang petani, seorang petani yang bisa saja dalam semusim tanam, kurang lebih 4 bulan, menghasilkan anggap saja untung 15 juta, jika dibagi durasi 4 bulan maka perbulannya dia berpenghasilan 3,5 juta saja dia wajib zakat. Maka sangat tidak adil jika seorang dokter yang berpenghasilan perbulan bisa sampai 10 kali lipat dari seorang petani, lalu dia tidak wajib zakat hanya karna profesi dokter tidak disebutkan dalam ayat atau hadits nabi. Tentu ini sangat tidak adil. Dan Allah maha adil, syariat Islam adalah syariat yang adil untuk ummatnya.

Namun dalil ayat diatas dan makna keadilan dalam Islam cukup menjadi landasan bahwa zakat profesi itu wajib. Untuk besaran zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 persen dari penghasilan profesi yang dilakukan. Namun perlu diingat juga bahwa zakat itu wajib setelah syaratnya terpenuhi. Salah satu syarat itu adalah sampai nishob, dan nishob zakat profesi adalah sama dengan zakat emas, karna hasil yang dihasilkan dari profesi itu adalah uang, semisal gaji. Uang dan emas mempunyai kesamaan dalam berbagai hal, bahkan zaman dulu emas juga berperan sebagai uang. Makanya untuk nishob zakat profesi disamakan dengan nishob emas yaitu 85 gram emas.

Dengan tanpa memungkiri adanya sebagian ulama yang menqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian hingga nishobnya juga disamakan dengan nishob zakat pertanian. Namun menqiyaskan dengan emas, menurut saya yang lebih tepat. Nishob 85 gram emas itu adalah hitungan pertahun. Dan berdasarkan hadits Ibnu Abbas, paman nabi yang pernah mendahulukan membayar zakat untuk dua tahun yang akan datang sekaligus, maka ulama'-ulama' kontemporer juga mempebolehkan membayar zakat profesi yang jika diqiyaskan dengan emas dibayarkan setahun sekali, diakhir tahun. Zakat profesi dibayarkan dengan mendahulukannya sesuai ritme gaji yang diterima tanpa harus menunggu akhir tahun. Misal ada seorang yang bekerja dan gajinya diterima setiap bulan maka boleh begitu dia menerima gaji ia langsung zakatkan di bulan itu juga tanpa harus menunggu akhir tahun. Walaupun jika menunggu diakhir tahun dan diakumulasi semua gaji yang telah diterima dari awal tahun hingga akhir tahun lalu dikeluarkan zakatnya, hal itupun juga boleh.

Selanjutnya bagaimana perhitungannya. Dihitung dari gaji kotor, atau pendapatan bruto, atau dihitung dari pendapatan netto setelah dikurangi berbagai kebutuhan. Untuk sisi ini ulama berbeda pendapat, perbedaan pendapat ini berawal dari bedanya mereka menqiyaskan zakat profesi ke zakat pertanian atau emas. Dalam zakat pertanian biaya yang dikeluarkan selama proses tanam sampai panen mempengaruhi besaran zakat yang harus dikeluarkan. Ini artinya bahwa ada perhitungan khusus untuk pengeluaran yang ada. Namun jika melihat pada zakaat emas, tidak ada pengurangan apapun dalam penghitungan zakat emas. Dalam zakat emas, berapapun pengeluaran kita, atau bahkan mungkin jika kita menitipkan emas disebuah perusahaan jasa penitipan barang berharga dan dikenakan biaya, biaya itu tidak menjadi pengurang perhitungan zakat emas.

Dari situ ada ulama' yang berpendapat bahwa zakat profesi dihitung dari pendapatan bruto, artinya 2,5 % itu dari penghasilan yang belum dikurangi apapun. Dan ada ulama yang berpendapat sebaliknya yaitu penghasilan dikurangi dulu oleh semua hal-hal yang harus kita keluarkan, seperti kebutuhan pokok, maksudnya makan sehari-hari, hutang yang jatuh tempo, pakaian kalau memang harus beli, lalu sisanya dihitung. Jika masih mencapai nishob, maka wajib zakat, dan jika tidak mencapai nishob maka tidak wajib zakat.

Dan DR. Yusuf Al Qaradlawi mengambil titik tengah dari kedua pendapat di atas, beliau berpendapat jika bagi mereka yang berpenghasilan tinggi, dan mempunyai kelebihan yang berlimpah maka beliau cenderung mengarahkan dengan perhitungan dari hasil bruto. Sedangkan bagi yang berpenghasilan belum besar, dan kelebihannya tidak berlimpah walaupun sudah sampai batas nishob maka diarahkan untuk menghitungnya dari hasil netto.
 Wallahu a'lam.

*Ustadz Fata Fauzi,Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar