TANYA:
Assalamualaikum wr wb. Ustadz mohon
pencerahannya. Zakat profesi 2,5% itu dihitung
dari pendapatan kotor atau pendapatan bersih? Jika pendapatan bersih setelah
dikurangi apa?
JAWAB:
Waalaikumsalam wr wb. Zakat profesi adalah zakat yang
merupakan ijitihad ulama-ulama' kontemporer. Jadi kita tidak perlu kaget kalau
mungkin nanti akan menemukan saudara kita, sesama muslim yang mengatakan bahwa
zakat profesi itu tidak ada, atau bahkan zakat profesi itu bid'ah. Pokok perbedaan ini pada dalil
umum dan dalil khusus. Harta-harta yang pernah disebutkan oleh al quran secara
terperinci ataupun oleh hadits hanya ada 5, yaitu zakat perdagangan, zakat
pertanian, zakat emas dan perak, zakat peternakan, dan penemuan harta karun (
Rikaz).
Bagaimana dengan profesi? Secara terperinci belum disebutkan oleh Rasulullah. Makanya bagi saudara-saudara kita
yang berpandangan harus ada dalil terperinci, maka meerka tidak akan menemukan
hadits atau ayat zakat profesi. Lalu mereka mengatakan bahwa zakat profesi itu
tidak ada. Kita menghargai mereka dengan
pendapat mereka, namun kita, atau saya pribagi setuju dengan penggunaan dalil
umum yang ada dalam al quran sebagai berikut :
"Wahai orang-orang yang beriman!
Belanjakanlah (pada jalan Allah) sebahagian dari hasil usaha kamu yang
baik-baik, dan sebahagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.
Dan janganlah kamu sengaja memilih yang buruk daripadanya (lalu kamu dermakan
atau kamu jadikan pemberian zakat), padahal kamu sendiri tidak sekali-kali akan
mengambil yang buruk itu (kalau diberikan kepada kamu), kecuali dengan
memejamkan mata padanya. Dan ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha Kaya, lagi
sentiasa Terpuji.” (Qs Al-Baqarah 267)
Di awal ayat ini jelas disebutkan
" belanjakanlah sebagian dari hasil usaha kamu.. " Ayat ini mencakup semua usaha yang dilakukan oleh seorang muslim, termasuk bekerja di sebuah
intansi, perusahaan atau semacamnya dan dia menghasilkan uang dari aktifitasnya
tersebut. Maka dia tetap wajib zakat berdasarkan ayat ini. Dan juga bisa menjadi landasan
dalil kewajiban zakat profesi, adalah keadilan Islam.
Kita tahu, bahwa
sebagian orang yang bekerja di sebuah perusahaan atau dengan profesi tertentu
seperti dokter, advocad, dan semacamnya, mereka bisa berpenghasilan sangat besar
yang tentunya bisa lebih besar dari seorang petani, seorang petani yang bisa
saja dalam semusim tanam, kurang lebih 4 bulan, menghasilkan anggap saja untung
15 juta, jika dibagi durasi 4 bulan maka perbulannya dia berpenghasilan 3,5
juta saja dia wajib zakat. Maka sangat tidak adil jika seorang dokter yang
berpenghasilan perbulan bisa sampai 10 kali lipat dari seorang petani, lalu dia
tidak wajib zakat hanya karna profesi dokter tidak disebutkan dalam ayat atau
hadits nabi. Tentu ini sangat tidak adil. Dan Allah maha adil, syariat Islam adalah syariat yang adil untuk ummatnya.
Namun dalil ayat diatas dan makna
keadilan dalam Islam cukup menjadi landasan bahwa zakat profesi itu wajib. Untuk besaran zakat yang wajib
dikeluarkan adalah 2,5 persen dari penghasilan profesi yang dilakukan. Namun
perlu diingat juga bahwa zakat itu wajib setelah syaratnya terpenuhi. Salah
satu syarat itu adalah sampai nishob, dan nishob zakat profesi adalah sama
dengan zakat emas, karna hasil yang dihasilkan dari profesi itu adalah uang,
semisal gaji. Uang dan emas mempunyai kesamaan dalam berbagai hal, bahkan
zaman dulu emas juga berperan sebagai uang. Makanya untuk nishob zakat profesi
disamakan dengan nishob emas yaitu 85 gram emas.
Dengan tanpa memungkiri adanya
sebagian ulama yang menqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian hingga
nishobnya juga disamakan dengan nishob zakat pertanian. Namun menqiyaskan dengan emas,
menurut saya yang lebih tepat. Nishob 85 gram emas itu adalah
hitungan pertahun. Dan berdasarkan hadits Ibnu Abbas, paman nabi yang pernah
mendahulukan membayar zakat untuk dua tahun yang akan datang sekaligus, maka
ulama'-ulama' kontemporer juga mempebolehkan membayar zakat profesi yang jika
diqiyaskan dengan emas dibayarkan setahun sekali, diakhir tahun. Zakat profesi
dibayarkan dengan mendahulukannya sesuai ritme gaji yang diterima tanpa harus
menunggu akhir tahun. Misal ada seorang yang bekerja
dan gajinya diterima setiap bulan maka boleh begitu dia menerima gaji ia
langsung zakatkan di bulan itu juga tanpa harus menunggu akhir tahun. Walaupun
jika menunggu diakhir tahun dan diakumulasi semua gaji yang telah diterima dari
awal tahun hingga akhir tahun lalu dikeluarkan zakatnya, hal itupun juga
boleh.
Selanjutnya bagaimana
perhitungannya. Dihitung dari gaji kotor, atau pendapatan bruto, atau dihitung
dari pendapatan netto setelah dikurangi berbagai kebutuhan. Untuk sisi ini ulama berbeda
pendapat, perbedaan pendapat ini berawal dari bedanya mereka menqiyaskan zakat
profesi ke zakat pertanian atau emas. Dalam zakat pertanian biaya yang
dikeluarkan selama proses tanam sampai panen mempengaruhi besaran zakat yang
harus dikeluarkan. Ini artinya bahwa ada perhitungan
khusus untuk pengeluaran yang ada. Namun jika melihat pada zakaat emas, tidak
ada pengurangan apapun dalam penghitungan zakat emas. Dalam zakat emas, berapapun
pengeluaran kita, atau bahkan mungkin jika kita menitipkan emas disebuah
perusahaan jasa penitipan barang berharga dan dikenakan biaya, biaya itu tidak
menjadi pengurang perhitungan zakat emas.
Dari situ ada ulama' yang
berpendapat bahwa zakat profesi dihitung dari pendapatan bruto, artinya 2,5 %
itu dari penghasilan yang belum dikurangi apapun. Dan ada ulama yang berpendapat
sebaliknya yaitu penghasilan dikurangi dulu oleh semua hal-hal yang harus kita
keluarkan, seperti kebutuhan pokok, maksudnya makan sehari-hari, hutang yang
jatuh tempo, pakaian kalau memang harus beli, lalu sisanya dihitung. Jika
masih mencapai nishob, maka wajib zakat, dan jika tidak mencapai nishob maka
tidak wajib zakat.
Dan DR. Yusuf Al Qaradlawi
mengambil titik tengah dari kedua pendapat di atas, beliau berpendapat jika
bagi mereka yang berpenghasilan tinggi, dan mempunyai kelebihan yang berlimpah
maka beliau cenderung mengarahkan dengan perhitungan dari hasil bruto. Sedangkan bagi yang berpenghasilan belum besar, dan kelebihannya tidak
berlimpah walaupun sudah sampai batas nishob maka diarahkan untuk menghitungnya
dari hasil netto.
Wallahu a'lam.
*Ustadz Fata Fauzi,Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar