TANYA:
Assalamualaikum wr wb. Ustadzah/Ustadz,
mau tanya tentang dalil bahwa kewajiban laki2 atas 4 perkara yaitu ibunya istrinya
saudarinya anak perempnya, itu dari hadits atau al quran ya? Mohon
penjelasannya. Dan saya pernah dengar di kajian bahwa seorang bapak itu masih
wajib menafkahi anak perempuannya meskipun ia sudah menikah, lain halnya kepada anak
lelakinya dalam pemberian nafkah menjadi sunah saat ia aqil baligh. Mohon juga pencerahannya. Syukron.
JAWAB:
Waalaikumsalam wr wb. Ibu-ibu yang berbahagia, sebelumnya, mungkin perlu diperjelas maksud “kewajiban” dalam pertanyaan di
atas. Jika yang dimaksudkan adalah kewajiban nafkah maka ada beberapa ayat dan
hadits yang menyampaikan hal tersebut, diantaranya :
"Dan para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.’’ (QS.Al-Baqarah
228).
"Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi
rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para
suami).’’ (HR. Muslim 2137).
"Dan jika mereka (isteri-isteri
yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya
hingga mereka bersalin.’’ (QS.at-Thalaq 6).
Dan dalam satu hadits juga
disebutkan "Mulailah (memberi nafkah) kepada orang yang menjadi tanggunganmu,
Ibumu, ayahmu, saudarimu, saudaramu, dan seterusnya.’
Atau
hadits-hadits
lainnya, seperti yang mengisahkan tentang seorang shohabiyah yang
mengadukan
suaminya yang pelit dan tidak memberikan nafkah keluarga kepada
Rasulullah. Dan mungkin masih banyak dalil-dalil lain, baik yang berupa
ayat al quran ataupun hadits Rasulullah SAW.
Dan jika semua dalil tadi dibaca semuanya, maka akan kita dapatkan pemahaman bahwa kewajiban nafkah itu
berdasarkan dua alasan :
Pertama: Pernikahan.
Pernikahan akan menyebabkan
seorang pria yang telah menjadi suami bagi wanita yang telah ia nikahi
berkewajiban untuk memenuhi nafkahnya. Tidak sebaliknya, seorang istri tidak
mempunyai kewajiban untuk memenuhi nafkah suaminya. Jadi dalam pandangan Islam,
nafkah adalah kewajiban seorang suami kepada istrinya, walaupun itu merupakan
kewajiban bukan berarti istri bisa seenaknya menuntut nafkah diluar kemampuan
suaminya, ia berhak menuntut nafkah untuknya sebatas kemampuan suaminya. Jikapun ada seorang istri bekerja
dan berpenghasilan, itu bukan kewajibannya. Jikapun istri memilih diam di
rumah Dengan segala aktifitas rumahnya tanpa menghasilkan gaji atau sebagainya
maka tidak diperbolehkan seorang suami untuk menyalahkan istrinya. Karna
memang itu haknya dia.
Namun
sebaliknya, bagi seorang
suami yang sehat dan mampu bekerja namun justru hanya diam dirumah, dan
membiarkan kehidupan keluarga kalang kabut karna tidak mendapatkan
kecukupan
nafkah maka ia telah berdosa karena meninggalkan kewajibannya. Namun
berbeda dengan seorang suami yang sudah berusaha pontang panting,
berikhtiar maksimal
namun dicoba dengan rizki yang mungkin terbatas maka ia tidak berdosa
karna
kekurangan yang dialami keluarganya. Jadi kewajiban nafkah yang
pertama ini adalah kewajiban nafkah karna hubungan pernikahan.
Yang kedua: Kekerabatan.
Kekerabatan akan mewajibkan
seseorang untuk memberikan nafkah, yang
saya maksud kekerabatan disini adalah karna adanya ikatan kekeluargaan sehingga
seorang muslim harus mencukupi nafkah orang yang masih mempunyai ikatan
kekeluargaan dengannya. Seperti seorang ayah wajib
memberikan nafkah kepada anaknya sampai ia baligh atau sampai ia mandiri, baik
anak itu laki-laki ataupun anak perempuan, mereka berhak atas nafkah dari ayah
mereka bukan karena jenis kelamin mereka laki-laki atau perempuan, tapi karena
status mereka sebagai anak dari ayahnya maka anak-anak ini berhak mendapatkan
nafkah darinya.
Adapun
anak perempuan yang sudah
menikah maka kewajiban pemenuhan nafkahnya dialihkan dari ayahnya kepada
suaminya. Maka untuk urusan pemenuhan nafkah menjadi kewajiban suaminya,
bukan lagi kewajiban ayahnya. Jikapun ayahnya ingin tetap membantu
untuk
memenuhi kebutuhannya maka itu dalam lingkup kesunnahan saja, bukan hal
yang
diwajibkan.
Dan sebaliknya seorang anak yang
sudah dewasa wajib memberikan nafkah kepada ibu bapaknya jika memang orang tua
tersebut dalam kondisi kekurangan. Kewajiban nafkah anak kepada orang tua ini
berdasarkan keumuman ayat yang memerintahkan seorang anak untuk taat dan
berbakti kepada orang tuanya.
Lalu bagaimana jika nafkah orang
tua berkecukupan? Maka bagi anak tidak
wajib menafkahi orang tuanya, karena mereka berdua mampu memenuhi kebutuhan
hidup mereka berdua. Jika sang anak ingin memberikan pemberian kepada orang
tuanya maka hal itu masuk dalam kesunnahan.
Lalu bagaimana dengan adik
perempuan? Jika seorang laki-laki mempunyai saudara perempuan yang belum
menikah, dan ayah mereka sudah tiada, maka perwalian bagi wanita tersebut
diwakili oleh saudara laki-lakinya, maka wajib bagi laki-laki itu untuk
mencukupi nafkah saudara perempuannya. Namun jika ayah mereka masih ada,
dan mampu untuk mencukupi kebutuhan nafkahnya maka tidak wajib baginya (
saudara laki-laki) untuk memenuhi nafkah saudari perempuannya. Atau mungkin ayah mereka masih
ada namun dalam kondisi fakir dan tidak mampu mencukupi nafkahnya, dan anak
lak-lakinya mampu ataupun berkecukupan maka ia wajib menafkahi kehidupan
saudara perempuannya selama dia belum menikah. Tapi jika saudari perempuannya
sudah menikah maka tanggung jawab semua kebutuhan dan nafkah wanita ini akan
dipindahkan kepada suaminya. Dan jika saudara laki-lakinya
ingin membantunyaa, maka itu tidak wajib, dan hanya merupakan kesunnahan saja.
Demikian jika yang dimaksud
"kewajiban" sebagaimana dalam pertanyaan adalah kewajiban nafkah.
Maka jawaban diatas yang bisa
saya sampaikan dan tentunya yang saya maksud dengan nafkah adalah nafkah
dzohir yang bisa kita konotasikan sebagai biaya kecukupan hidup.
Namun jika yang dimaksudkan
“kewajiban” adalah untuk menasehati jika terjadi kemaksiatan, maka sebenarnya
semua muslim mempunyai kewajiban saling menasehati muslim lain yang mungkin
sedang terjerumus dalam kemaksiatan kepada Allah, baik yang mempunyai ikatan
pernikahan ataupun kekerabatan atau bahkan yang sama sekali tidak mempunyai
ikatan diatas, namun mereka tetap bersaudara dalam kontek aqidah dan keimanan,
dan itu menjadikan mereka wajib saling menasehati walaupun mereka tidak pernah
kenal, tidak pernah satu rumah, tidak sedarah.. dan sama sekali tidak ada
ikatan apapun kecuali ikatan ukhuwah Islamiyah.
Dan merupakan keniscayaan bagi
manusia untuk melakukan kesalahan, kekhilafan, kealpaan. Semua manusia pasti
pernah, atau bahkan sedang atau mungkin nantinya akan jatuh dan melakukan
kesalahan, dan disanalah peran saudara seiman dan seIslam untuk saling
mengingatkan, mendorong dan merangkul serta
berjalan bersama kembali ke jalan yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW.
Hadits Rasulullah SAW, Kullukum
Khottoun.. wa khoiru Khottoin tawwabun.. kalian semua adalah makhluk yang pasti
akan salah, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah mereka yang
bertaubat. Dengan kata lain, bahwa kita
pasti pernah, atau sedang atau akan melakukan kesalahan. Namun berbeda orang
yang bersalah karena khilaf dengan orang yang bersalah karna disengaja dan
menikmati kesalahan itu.. Mereka sama-sama melakukan kesalahan, namun berbeda
di depan Allah.
Semangat saling menasehati ini
bisa kita temukan dalam surat al a’shr.. watashoubil haqqi watashoubishobr..
allah memerintahkan kita untuk saling menasehati kepada kebenaran dan saling
menasehati untuk bersabar dalam menjalani dan mempertahankan kebenaran
tersebut. Karena kebenaran itu ternyata
membutuhkan kesabaran dalam menjalankannya. Seperti, sholat tepat waktu adalah
kebenaran dari Allah, namun ternyata banyak ummat Islam yang meremehkan bahkan
meninggalkan sholat. Mereka berhak untuk dinasehati tentang sholat. Setelah mereka melakukan sholat,
bisa saja mereka tidak sabar, bosan dengan ibadah yang harus dilakukan setiap
hari dan berulang ulang. Mereka perlu dorongan untuk bersabar dalam
menjalankannya dan mengalahkan kebosanan yang syetan masukan dalam hati
mereka. Dalam bahasa yang mungkin sering
kita dengar hal ini bisa kita sebut “ amar ma’ruf nahi mungkar”.
Apalagi seseorang yang terikat
oleh pernikahan atau kekerabatan maka ia lebih wajib lagi untuk menasehati dan
mengingatkan istri/suaminya, anak-anaknya, orang tuanya, saudara-saudarinya,
ataupun kerabatnya yang meninggalkan perintah-perintah Allah. Bahkan lebih khusus lagi Allah
memerintahkan kepada seorang kepala keluarga dan juga individu-individu dalam
keluarga untuk saling menjaga semua keluarga dari terjerumus kepda kemaksitan
kepada Allah yang nanti akan membawa mereka ke neraka sebagaimana firman Allah
berikut :
Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.
[at-Tahrîm/66:6]
Ada sebagian ulama menafsirkan
ayat ini adalah perintah kepada seorang kepada-kepala keluarga ( suami) untuk
terus menjaga keluarganya dari jatuh ke lembah kemaksiatan kepada Allah, namun
juga banyak ulama yang menafsirkan bahwa ini perintah untuk semua individu
dalam kelaurga tersebut, seorang ayah punya kewajiban menjaga anak-anaknya,
seorang suami berkewajban menjaga istrinya, seorang istri berkewajiban menjaga
suaminya, anak-anak berkewajiban menjaga kedua orang tuanya, dan anak-anak
berkewajiban menjaga saudara dan saudarinya.
Jadi siapapun kita, maka kita
punya kewajiban kepada muslim lain, terlebih mereka mereka yang punya ikatan
kekerabatan ataupun kekeluargaan dengan kita untuk menjaga mereka dari neraka,
Dengan cara selalu menasehati dan mencegah mereka untuk bermaksiat kepada
Allah.
Dengan sebuah kesimpulan jika yang dimaksud "kewajiban"
adalah tanggung jawab untuk saling menjaga dari siksa neraka karna maksiat yang
dilakukan maka "kewajiban" itu tidak terbatas hanya kepada istri,
ibu, anak perempuan dan saudari perempuan, namun "kewajiban" itu
merupakan hak bagi setiap muslim kepada muslim lainnya, baik memiliki ikatan
kekerabatan, pernikahan, ataupun sama sekali tidak mempunyai ikatan apapun..
karna sesama muslim punya kwajiban 'Amar ma'ruf nahi mungkar".
Wallahu
A'lam..
*Ustadz Fata Fauzi,Lc
Mohon koreksi lafadz ini ustad kok kurang huruf wawu :" al a’shr.. watashoubil haqqi watashoubishobr.."
BalasHapusوَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Bagaimana kalau saudara perempuan lebih kaya masih wajibkah? Dan sampai batasan usia berapa atau seumur hidupkah?
BalasHapusMau sekaya apapun saudara perempuan ttp wajib kalian sbg lelaki menafkahi.. Ibarat sama sj seperti layak nya suami istri, jika istri kerja dan berpenghasilan lebih besar dr suami, suami ttp kan harus memberikan nafkah dan haq nya? Nah, sama hal nga bgtu juga saudara laki² ke saudara perempuan yg suami nya dzalim, wafat dan juga orgtua nya yg dzalim dan wafat.
HapusMau sekaya apapun saudara perempuan ttp wajib kalian sbg lelaki menafkahi.. Ibarat sama sj seperti layak nya suami istri, jika istri kerja dan berpenghasilan lebih besar dr suami, suami ttp kan harus memberikan nafkah dan haq nya? Nah, sama hal nga bgtu juga saudara laki² ke saudara perempuan yg suami nya dzalim, wafat dan juga orgtua nya yg dzalim dan wafat.
Hapusass.ustad sy minta pendapat tentang masalh dalam keluarga saya.tp sy binggung dimana sy mau ceritakan permasalahanya
BalasHapusJika suami sudah tidak punya orang tua. Dan masih punya kakak perempuan tapi kakaknya itu berkecukupan. Masih wajibkan suami memberikan uang atau mewujudkan semua keinginan kakaknya itu.
BalasHapusAssalamu, alaikum, ustad saya mau tanya. Suami saya sakit menahun. usaha saya skrng lagi bangkrut, saya minta bantuan sama adik laki2nya yg lumayan kaya, tapi mereka tdk mau bantu. Gmn itu hukumnya?menurut agama?
BalasHapusMaaf ustadz, jika suami saya tergolong kurang mampu, dan saya mempunyai 2 anak, apakah saudara laki2 Saya masih mempunyai kewajiban untuk memberi sebagian nafkah kepada saya, dan jika saudara laki2 saya meminta warisan atas jatah mereka masing2 dua bagian dan mereka tergolong mampu, sedang saya 1 bagian dan saya tergolong orang tidak mampu, apakah hal tersebut termasuk adil buat saya.... Mohon dengan sangat penjelasan dari ustadz...
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusJazakallahu khairan
BalasHapusMaaf ustadz,jika seorang anak perempuan belum menikah dan orang tuanya sudah meninggal dunia dan ditanggung oleh kakak laki² yang sudah beristri .kemudian istrinya tidak menyukai atau berpikir bahwa adik perempuan tsb sudah bukan tanggung jawab kakaknya lagi .apakah hukumnya ?apa di perbolehkan?
BalasHapusAssalamualaikum ustadz.jika mengeluarkan uang dalam pernikahan anak laki laki nya..apakah uang itu disebut hutang??
BalasHapusMaksudnya jika seoeang ayah
BalasHapus