Snow

Rabu, 24 Februari 2016

TJ: Dalil tentang kewajiban lelaki atas 4 perkara.


TANYA:

Assalamualaikum wr wb. Ustadzah/Ustadz, mau tanya tentang dalil bahwa kewajiban laki2 atas 4 perkara yaitu ibunya istrinya saudarinya anak perempnya, itu dari hadits atau al quran ya? Mohon penjelasannya. Dan saya pernah dengar di kajian bahwa seorang bapak itu masih wajib menafkahi anak perempuannya meskipun ia sudah menikah, lain halnya kepada anak lelakinya dalam pemberian nafkah menjadi sunah saat ia aqil baligh. Mohon juga pencerahannya. Syukron.

JAWAB: 

Waalaikumsalam wr wb. Ibu-ibu yang berbahagia, sebelumnya, mungkin perlu diperjelas maksud “kewajiban” dalam pertanyaan di atas. Jika yang dimaksudkan adalah kewajiban nafkah maka ada beberapa ayat dan hadits yang menyampaikan hal tersebut, diantaranya :

"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.’’ (QS.Al-Baqarah 228).

"Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).’’ (HR. Muslim 2137).
 "Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.’’ (QS.at-Thalaq 6).

Dan dalam satu hadits juga disebutkan "Mulailah (memberi nafkah) kepada orang yang menjadi tanggunganmu, Ibumu, ayahmu, saudarimu, saudaramu, dan seterusnya.’ 

Atau hadits-hadits lainnya, seperti yang mengisahkan tentang seorang shohabiyah yang mengadukan suaminya yang pelit dan tidak memberikan nafkah keluarga kepada Rasulullah. Dan mungkin masih banyak dalil-dalil lain, baik yang berupa ayat al quran ataupun hadits Rasulullah SAW.

Dan jika semua dalil tadi dibaca semuanya, maka akan kita dapatkan pemahaman bahwa kewajiban nafkah itu berdasarkan dua alasan :

Pertama: Pernikahan.

Pernikahan akan menyebabkan seorang pria yang telah menjadi suami bagi wanita yang telah ia nikahi berkewajiban untuk memenuhi nafkahnya. Tidak sebaliknya, seorang istri tidak mempunyai kewajiban untuk memenuhi nafkah suaminya. Jadi dalam pandangan Islam, nafkah adalah kewajiban seorang suami kepada istrinya, walaupun itu merupakan kewajiban bukan berarti istri bisa seenaknya menuntut nafkah diluar kemampuan suaminya, ia berhak menuntut nafkah untuknya sebatas kemampuan suaminya. Jikapun ada seorang istri bekerja dan berpenghasilan, itu bukan kewajibannya. Jikapun istri memilih diam di rumah Dengan segala aktifitas rumahnya tanpa menghasilkan gaji atau sebagainya maka tidak diperbolehkan seorang suami untuk menyalahkan istrinya. Karna memang itu haknya dia.

Namun sebaliknya, bagi seorang suami yang sehat dan mampu bekerja namun justru hanya diam dirumah, dan membiarkan kehidupan keluarga kalang kabut karna tidak mendapatkan kecukupan nafkah maka ia telah berdosa karena meninggalkan kewajibannya. Namun berbeda dengan seorang suami yang sudah berusaha pontang panting, berikhtiar maksimal namun dicoba dengan rizki yang mungkin terbatas maka ia tidak berdosa karna kekurangan yang dialami keluarganya. Jadi kewajiban nafkah yang pertama ini adalah kewajiban nafkah karna hubungan pernikahan.

Yang kedua: Kekerabatan.

Kekerabatan akan mewajibkan seseorang untuk memberikan nafkah,  yang saya maksud kekerabatan disini adalah karna adanya ikatan kekeluargaan sehingga seorang muslim harus mencukupi nafkah orang yang masih mempunyai ikatan kekeluargaan dengannya. Seperti seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada anaknya sampai ia baligh atau sampai ia mandiri, baik anak itu laki-laki ataupun anak perempuan, mereka berhak atas nafkah dari ayah mereka bukan karena jenis kelamin mereka laki-laki atau perempuan, tapi karena status mereka sebagai anak dari ayahnya maka anak-anak ini berhak mendapatkan nafkah darinya.

Adapun anak perempuan yang sudah menikah maka kewajiban pemenuhan nafkahnya dialihkan dari ayahnya kepada suaminya. Maka untuk urusan pemenuhan nafkah menjadi kewajiban suaminya, bukan lagi kewajiban ayahnya. Jikapun ayahnya ingin tetap membantu untuk memenuhi kebutuhannya maka itu dalam lingkup kesunnahan saja, bukan hal yang diwajibkan. 

Dan sebaliknya seorang anak yang sudah dewasa wajib memberikan nafkah kepada ibu bapaknya jika memang orang tua tersebut dalam kondisi kekurangan. Kewajiban nafkah anak kepada orang tua ini berdasarkan keumuman ayat yang memerintahkan seorang anak untuk taat dan berbakti kepada orang tuanya.

Lalu bagaimana jika nafkah orang tua berkecukupan?  Maka bagi anak tidak wajib menafkahi orang tuanya, karena mereka berdua mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua. Jika sang anak ingin memberikan pemberian kepada orang tuanya maka hal itu masuk dalam kesunnahan.

Lalu bagaimana dengan adik perempuan? Jika seorang laki-laki mempunyai saudara perempuan yang belum menikah, dan ayah mereka sudah tiada, maka perwalian bagi wanita tersebut diwakili oleh saudara laki-lakinya,  maka wajib bagi laki-laki itu untuk mencukupi nafkah saudara perempuannya. Namun jika ayah mereka masih ada, dan mampu untuk mencukupi kebutuhan nafkahnya maka tidak wajib baginya ( saudara laki-laki) untuk memenuhi nafkah saudari perempuannya. Atau mungkin ayah mereka masih ada namun dalam kondisi fakir dan tidak mampu mencukupi nafkahnya, dan anak lak-lakinya mampu ataupun berkecukupan maka ia wajib menafkahi kehidupan saudara perempuannya selama dia belum menikah. Tapi jika saudari perempuannya sudah menikah maka tanggung jawab semua kebutuhan dan nafkah wanita ini akan dipindahkan kepada suaminya. Dan jika saudara laki-lakinya ingin membantunyaa, maka itu tidak wajib, dan hanya merupakan kesunnahan saja.

Demikian jika yang dimaksud "kewajiban" sebagaimana dalam pertanyaan adalah kewajiban nafkah.

Maka jawaban diatas yang bisa saya sampaikan dan tentunya yang saya maksud dengan nafkah adalah nafkah dzohir yang bisa kita konotasikan sebagai biaya kecukupan hidup. 

Namun jika yang dimaksudkan “kewajiban” adalah untuk menasehati jika terjadi kemaksiatan, maka sebenarnya semua muslim mempunyai kewajiban saling menasehati muslim lain yang mungkin sedang terjerumus dalam kemaksiatan kepada Allah, baik yang mempunyai ikatan pernikahan ataupun kekerabatan atau bahkan yang sama sekali tidak mempunyai ikatan diatas, namun mereka tetap bersaudara dalam kontek aqidah dan keimanan, dan itu menjadikan mereka wajib saling menasehati walaupun mereka tidak pernah kenal, tidak pernah satu rumah, tidak sedarah.. dan sama sekali tidak ada ikatan apapun kecuali ikatan ukhuwah Islamiyah.

Dan merupakan keniscayaan bagi manusia untuk melakukan kesalahan, kekhilafan, kealpaan. Semua manusia pasti pernah, atau bahkan sedang atau mungkin nantinya akan jatuh dan melakukan kesalahan, dan disanalah peran saudara seiman dan seIslam untuk saling mengingatkan, mendorong dan merangkul serta berjalan bersama kembali ke jalan yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW.

Hadits Rasulullah SAW, Kullukum Khottoun.. wa khoiru Khottoin tawwabun.. kalian semua adalah makhluk yang pasti akan salah, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat. Dengan kata lain, bahwa kita pasti pernah, atau sedang atau akan melakukan kesalahan. Namun berbeda orang yang bersalah karena khilaf dengan orang yang bersalah karna disengaja dan menikmati kesalahan itu.. Mereka sama-sama melakukan kesalahan, namun berbeda di depan Allah. 

Semangat saling menasehati ini bisa kita temukan dalam surat al a’shr.. watashoubil haqqi watashoubishobr.. allah memerintahkan kita untuk saling menasehati kepada kebenaran dan saling menasehati untuk bersabar dalam menjalani dan mempertahankan kebenaran tersebut. Karena kebenaran itu ternyata membutuhkan kesabaran dalam menjalankannya. Seperti, sholat tepat waktu adalah kebenaran dari Allah, namun ternyata banyak ummat Islam yang meremehkan bahkan meninggalkan sholat. Mereka berhak untuk dinasehati tentang sholat. Setelah mereka melakukan sholat, bisa saja mereka tidak sabar, bosan dengan ibadah yang harus dilakukan setiap hari dan berulang ulang. Mereka perlu dorongan untuk bersabar dalam menjalankannya dan mengalahkan kebosanan yang syetan masukan dalam hati mereka. Dalam bahasa yang mungkin sering kita dengar hal ini bisa kita sebut “ amar ma’ruf nahi mungkar”.

Apalagi seseorang yang terikat oleh pernikahan atau kekerabatan maka ia lebih wajib lagi untuk menasehati dan mengingatkan istri/suaminya, anak-anaknya, orang tuanya, saudara-saudarinya, ataupun kerabatnya yang meninggalkan perintah-perintah Allah. Bahkan lebih khusus lagi Allah memerintahkan kepada seorang kepala keluarga dan juga individu-individu dalam keluarga untuk saling menjaga semua keluarga dari terjerumus kepda kemaksitan kepada Allah yang nanti akan membawa mereka ke neraka sebagaimana firman Allah berikut :
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
[at-Tahrîm/66:6]

Ada sebagian ulama menafsirkan ayat ini adalah perintah kepada seorang kepada-kepala keluarga ( suami) untuk terus menjaga keluarganya dari jatuh ke lembah kemaksiatan kepada Allah, namun juga banyak ulama yang menafsirkan bahwa ini perintah untuk semua individu dalam kelaurga tersebut, seorang ayah punya kewajiban menjaga anak-anaknya, seorang suami berkewajban menjaga istrinya, seorang istri berkewajiban menjaga suaminya, anak-anak berkewajiban menjaga kedua orang tuanya, dan anak-anak berkewajiban menjaga saudara dan saudarinya.

Jadi siapapun kita, maka kita punya kewajiban kepada muslim lain, terlebih mereka mereka yang punya ikatan kekerabatan ataupun kekeluargaan dengan kita untuk menjaga mereka dari neraka, Dengan cara selalu menasehati dan mencegah mereka untuk bermaksiat kepada Allah.

Dengan sebuah kesimpulan jika yang dimaksud "kewajiban" adalah tanggung jawab untuk saling menjaga dari siksa neraka karna maksiat yang dilakukan maka "kewajiban" itu tidak terbatas hanya kepada istri, ibu, anak perempuan dan saudari perempuan, namun "kewajiban" itu merupakan hak bagi setiap muslim kepada muslim lainnya, baik memiliki ikatan kekerabatan, pernikahan, ataupun sama sekali tidak mempunyai ikatan apapun.. karna sesama muslim punya kwajiban 'Amar ma'ruf nahi mungkar".
Wallahu A'lam..

*Ustadz Fata Fauzi,Lc

13 komentar:

  1. Mohon koreksi lafadz ini ustad kok kurang huruf wawu :" al a’shr.. watashoubil haqqi watashoubishobr.."

    وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

    BalasHapus
  2. Bagaimana kalau saudara perempuan lebih kaya masih wajibkah? Dan sampai batasan usia berapa atau seumur hidupkah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mau sekaya apapun saudara perempuan ttp wajib kalian sbg lelaki menafkahi.. Ibarat sama sj seperti layak nya suami istri, jika istri kerja dan berpenghasilan lebih besar dr suami, suami ttp kan harus memberikan nafkah dan haq nya? Nah, sama hal nga bgtu juga saudara laki² ke saudara perempuan yg suami nya dzalim, wafat dan juga orgtua nya yg dzalim dan wafat.

      Hapus
    2. Mau sekaya apapun saudara perempuan ttp wajib kalian sbg lelaki menafkahi.. Ibarat sama sj seperti layak nya suami istri, jika istri kerja dan berpenghasilan lebih besar dr suami, suami ttp kan harus memberikan nafkah dan haq nya? Nah, sama hal nga bgtu juga saudara laki² ke saudara perempuan yg suami nya dzalim, wafat dan juga orgtua nya yg dzalim dan wafat.

      Hapus
  3. ass.ustad sy minta pendapat tentang masalh dalam keluarga saya.tp sy binggung dimana sy mau ceritakan permasalahanya

    BalasHapus
  4. Jika suami sudah tidak punya orang tua. Dan masih punya kakak perempuan tapi kakaknya itu berkecukupan. Masih wajibkan suami memberikan uang atau mewujudkan semua keinginan kakaknya itu.

    BalasHapus
  5. Assalamu, alaikum, ustad saya mau tanya. Suami saya sakit menahun. usaha saya skrng lagi bangkrut, saya minta bantuan sama adik laki2nya yg lumayan kaya, tapi mereka tdk mau bantu. Gmn itu hukumnya?menurut agama?

    BalasHapus
  6. Maaf ustadz, jika suami saya tergolong kurang mampu, dan saya mempunyai 2 anak, apakah saudara laki2 Saya masih mempunyai kewajiban untuk memberi sebagian nafkah kepada saya, dan jika saudara laki2 saya meminta warisan atas jatah mereka masing2 dua bagian dan mereka tergolong mampu, sedang saya 1 bagian dan saya tergolong orang tidak mampu, apakah hal tersebut termasuk adil buat saya.... Mohon dengan sangat penjelasan dari ustadz...

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  8. Maaf ustadz,jika seorang anak perempuan belum menikah dan orang tuanya sudah meninggal dunia dan ditanggung oleh kakak laki² yang sudah beristri .kemudian istrinya tidak menyukai atau berpikir bahwa adik perempuan tsb sudah bukan tanggung jawab kakaknya lagi .apakah hukumnya ?apa di perbolehkan?

    BalasHapus
  9. Assalamualaikum ustadz.jika mengeluarkan uang dalam pernikahan anak laki laki nya..apakah uang itu disebut hutang??

    BalasHapus